SMM DAN KONTRAK LUMSUM, ADA APA?

Penulis : Pak Sek

SMM (Sistem Manajemen Mutu) dan Kontrak Lumsum, ada apa dengan keduanya? Bukannya SMM adalah salah satu syarat pemenuhan Sertifikat Badan Usaha Konstruksi saja?. Sedangkan Kontrak Lumsum adalah salah satu jenis kontrak yang didasarkan pada cara pembayaran yang bersifat total atas semua biaya tanpa terkecuali. Adapula yang mengatakan cara pembayaran lumsum adalah sekali bayar. Mirip beli paket data prabayar. Bayar total, setelah kita pakai ternyata speed jaringan datanya lelet….., risiko ditanggung pembeli hehehe…. 

Lalu apa hubungannya antara kontrak lumsum dengan SMM? Kenapa regulasi terbaru dalam persyaratan SBU mensyaratkan SMM? Apakah untuk menambah ketat aturan saja?. Kenapa pemerintah getol, melalui kementerian PU ingin menerapkan SMM terutama dalam jasa kontruksi?. Pertanyaan-pertanyaan yang menarik, bukan sekedar untuk didebatkan tapi perlu dipahami dengan benar.

Oke.. mari kita kupas satu persatu. SMM adalah bertujuan untuk mengaransi kualitas dari produk atau layanan kepada konsumen berdasar atas “proses” dalam menyediakan mengadakan barang/layanan tersebut . Dalam arti lingkup jakon, konsumen adalah pemerintah dan swasta. SMM memberikan garansi proses standar untuk sebuah produk atau layanan. Barang atau layanan yang sama, bisa berbeda kualitas sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Bisa jadi barang/layanan yang sama bisa berkualitas jelek, sedang atau bagus. Sehingga bagi konsumen pemerintah atau swasta bisa melihat SMM yang disodorkan oleh penyedia jasa untuk bebas memilih kualitas produk/layanan yang akan dibelinya. Jadi SMM ini adalah mengaransi proses dalam menyediakan atau mengadakan produk/layanan yang di beli konsumen. 

Sekali lagi “Proses” menjadi penekanan pada garansi layanan yang diberikan. Barang atau layanan sebagai produk akhir yang sama bisa berbeda kualitas karena proses yang di garansi dalam SMM berbeda.

Lalu apa hubungan dengan kontrak lumsum? Tentu saja berhubungan! Kontrak lumsum membayar atas total biaya yang ada dengan berdasar pada produk akhir yang dijanjikan. Pertanyaan yang muncul, siapa yang menggaransi produk/layanan akhir tersebut? Apakah kualitas produk/layanan jelek, sedang atau baik siapa yang menilai? Tentu saja jaminan atas produk akhir adalah SMM yang kita susun!. Ya… SMM yang sdh disusun oleh badan usaha penyedia. SMM yang kaleng-kaleng asal disusun akan memberikan jaminan produk yang kaleng-kaleng juga. Sedang SMM yang disusun dengan memperhatikan standar operasi (SOP) yang baik dan ketat  semestinya akan memberikan jaminan produk/layanan berkualitas baik pula, jika semua proses atau SOP yang sudah ditetapkan dilaksanakan dengan baik.

Nah… disinilah kita mulai ketemu antara benang merah SMM dan kontrak lumsum. Produk kontrak lumsum adalah produk/layanan utuh 100% sebagai produk akhir. Pertanyaan yang muncul, siapa yang mengaransi produk 100% sudah baik. Baik buruk produk akhir dalam kontrak lumsum semestinya harus dinilai berdasar prosesnya atau SOP pelaksanaan pekerjaannya dalam hal ini SMM. 

Audit produk hasil kontrak lumsum semestinya melihat “Proses pelaksanaan SMM dari penyedia jasa”. Apakah pelaksanaan SMM yang sudah disusun sebagai syarat SBU, telah dilaksanakan dalam pekerjaan. Tentu saja audit ini integrasi antara SMM dan kontrak yang diperjanjikan antar pihak sebagai landasan utama. SMM akan selalu merujuk dan mengakomodasi atas regulasi yang berlaku termasuk dokumen kontrak. Kalau audit proses ini tidak menemukan penyimpangan SMM dalam pelaksanaan pekerjaan, mestinya produk yang dijanjikan secara kualitas sesuai dengan yang dijanjikan atau digaransikan dalam kontrak dan produk akhir bisa diterima. Tentu saja audit proses oleh auditor dalam SMM ini akan membongkar bagaimana proses pelaksanaan pekerjaan, mulai dari koordinasi awal, pelaksanaan rapat-rapat, peran dan kontribusi masing-masing personil atau tim dalam terhadap produk akhir yang dihasilkan.

Permasalahan yang sering terjadi adalah ketika produk akhir ini akan diuji kualitasnya. Auditor sering kesulitan untuk melihat bagaimana proses dalam menghasilkan produk akhir. Seandainya penyedia tidak memiliki dokumen proses yang baik maka yang sering terjadi adalah auditor meminta untuk menghadirkan semua atau sebagian personil yang terlibat guna memberikan informasi proses yang telah dikerjakan untuk menghasilkan produk akhir. Sejauhmana peran para personil dan kontribusi personil menjadi tolok ukur kualitas produk akhir yang dijanjikan apakah bisa diterima atau tidak. Produk akhir tidak sebatas volume, jumlah tetapi juga kualitas yang harus diuji.

Seringkali ketika audit proses yang dijalankan auditor tidak bisa dijalankan dengan baik karena dokumentasi proses atau SMM tidak baik/tidak ada dari penyedia maka yang dilakukan adalah menguji proses-proses pelaksanaan tersebut dengan meminta informasi-informasi atas biaya-biaya detil. Penyediaan informasi biaya detil inilah yang sering menjadi kontroversi pemahaman antara penyedia jasa, pengguna jasa dan auditor.

Semestinya penyediaan informasi rincian biaya detil tidak akan diungkap jika proses-proses dalam pelaksanaan pekerjaan dapat diinformasikan dengan baik dan sesuai dengan SMM yang sudah diberikan sebagai syarat SBU konstruksi. Banyak kesalahan ketika kita berkontrak lumsum tetapi tidak bisa memberikan gambaran proses pelaksanaan dengan baik, apalagi belum memiliki SMM yang baik. Sering terjadi adalah perbedaan persepsi dan konflik antara penyedia, pengguna dan auditor. Pada umum penyedia dalam sisi yang lemah karena tidak bisa menyediakan informasi proses pelaksanaan dengan baik. Auditor akan mengejar informasi proses yang ada sebagai bagian dari data audit. Ujung-ujungnya penyedia menganggap auditor mengada-ada.  

Dengan demikian mari kita sambut era Jakon yang baru, ciptakan standar produk kita yang baik dengan menyusun SMM yang baik sebagai bentuk citra dan performance badan usaha yang baik. Karena pengguna jasa bisa jadi atau pasti akan memilih penyedia yang menjamin produknya dengan baik dibanding produk kaleng-kaleng. Kecuali pengguna jasa yang sableng yang memilih jaminan produk kaleng-kaleng.

2 comments

  1. Terima kasih sharing nya Pak Sek…
    Dalam penerapan SMM perusahaan apa harus ber ISO 9001 atau seri yang lain?

    Jika belum ber ISO apakah ada standar SOP yang baku?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *