Antara Aceh 2004 dan Tohoku 2011: Tsunami Wisdom

Tepat pukul 17:58:53 WIB pada tanggal 26 Desember 2004 sebuah peristiwa yang akan selalu dikenang dan menyadarkan betapa kita hidup berada berdampingan dengan alam yang sangat dinamis dengan segala potensi sumberdaya dan ancamannya. Kejadian yang telah menelan banyak korban jiwa, harta dan material saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah pesisir barat Aceh. Peristiwa proses keseimbangan alamiah yang akan selalu dikenang dan menyadarkan kita sebagai Bangsa Indonesia khususnya masyarakat di Kota Serambi Mekah bahwa kita hidup dan tinggal pada wilayah yang mempunyai potensi ancaman bencana. Kita tinggal di Ring of Fire atau rangkaian gunung api aktif (vulkanik aktif) mulai dari aceh hingga Halmahera Utara dan Sangihe. Sebuah rangkaian gunung api aktif akibat dari proses subduksi (penunjangan) antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dibawah Lempeng Asia pada sisi barat Pulau Sumatera dan sisi selatan Pulau Jawa hingga Kepulauan Aru serta subduksi lempeng Pasifik dengan Lempeng Asia pada sisi Timur laut Halmahera dan sekitarnya. Pertemuan tiga lempeng dunia atau megathrust yang menjadikan wilayah Indonesia sebagai wilayah dengan tektonik sangat aktif yang ditandai dengan terbentuknya rangkaian gunung api aktif dan intensitas gempa yang tinggi di sepanjang wilayah zona subduksi atau penunjang dan tersebut.
Berikut adalah gambaran rangkaian api aktif hasil subduksi lempeng tektonik di Indonesia (Sumber : Hochstein & Sudarman)

Sisi barat pantai Banda Aceh berhadapan langsung dengan penunjaman atau subduksi antara lempeng tektonik Samudra Hindia-Australia dengan lempeng tektonik Eurasia yang merupakan pertemuan dua kerak skala megathrust dengan kecepatan pergerakan 6 cm/tahun. Dalam skala penunjaman megathrust, tentunya tensor energi yang terakumulasi cukup besar dan energi yang terlepaskan dalam bentuk gempa dengan skala besar yang bisa diikuti dengan tsunami seperti yang terjadi di pantai barat Banda Aceh 2006. Jumlah korban jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 167.540 jiwa (USAID Fact Sheets (estimates) dalam The Asian Tsunami Aid and Reconstruction after a Disaster, ADB & EE Publishing, 2010)
United State Geological Survey (USGS) mencatat gempa terukur pada skala 9.0 skala richter atau merupakan gempa terbesar selama 40 tahun terkhir. Epicenter gempa berada 150 km di selatan Meulaboh atau 250 km dari Kota Banda Aceh dengan kedalam 30 km (gempa dangkal pada zona subduksi/penunjaman) di bawah Samudera Hindia. Gempa ini melibatkan pergeseran atau fracture hampir sepanjang 100 km pada batas lempeng dengan pergeseran hingga 15 meter (Bappenas; Preliminary Damage and Lose Assesement, 2005. Tinggi gelombang tsunami di pantai barat Banda Aceh mencapai sekitar 10 meter dengan run-up hingga 40 meter.
Demikian pula dengan apa yang terjadi dengan gempa bumi yang terjadi di Jepang pada tahun 2011 yang sering disebut gempa besar di Jepang Timur atau gempa Tohoku yang berada di pantai Samudera Pasifik. Berdasar data dari Japan Meteorological Agency 2011, gempa terjadi pada tanggal 11 March 2011 14:46 JST (05:46 UTC). Epicenter sumber gempa adalah 130 km timur-timur selatan dari Semenanjung Oshika, dengan kedalaman 24 km dan magnitude 9 (gempa dengan magnitude terbesar yang pernah tercatat di Jepang). Berdasar data The National Police Agency of Japan, korban jiwa tercatat sebanyak 15.560 jiwa
Gempa terjadi pada pukul 14.46 waktu setempat yang diikuti dengan tsunami early warning pertama, 3 menit kemudian setelah kejadian gempa (jam 14.49). Sedangkan peringatan ketinggian tsunami pada jam 14.50 (1 menit dari peringatan tsunami awal atau 4 menit dari kejadian gempa); Miyagi 6 m, Iwate 3 m, Fukushima 3 m, dan Pantai Pasifik Oomori 1m. Update informasi peringatan ketinggian tsunami dilakukan pada jam 15.14 (25 menit setelah peringatan tsunami pertama) dengan perkiraan ketinggian tsunami di Miyagi 10 m, Iwate 6 m, Fukushima 6 m, dan Pantai Pasifik Oomori 3m. Pukul 15.30 (41 menit setelah peringatan tsunami pertama) dilakukan peringatan ulang ancaman tsunami dan 15.31 dikuti dengan update perkiraan ketinggian tsunami untuk wilayah Iwate – Kujukuri and Sotobo bisa lebih 10 m; Pantai Pasifik Oomori 8 m.
Titik pemantauan tsunami berupa antara lain pemantau tsunami di dasar laut berupa buoy/cable yang berguna untuk menangkap gejala tsunami seawal mungkin (peringatan pertama), GPS buoy yang biasanya dipasang kurang lebih 10 km dari pantai, serta pencatat gelombang gejala tsunami yang dipasang di dekat pantai.
Berdasar pengamatan langsung pada saat kejadian tinggi maksimum gelombang tsunami sekitar 10 meter sepanjang pantai pasifik Tohoku, 8.5 meter di Miyako (wilayah Iwake), 8 meter di Ofunato (wilayah Iwate), 8.6 meter di Ishinomakishi (wilayah Miyagi) dan 9.3 meter di Soma (wilayah Fukushima)

Dibalik Data Tsunami
Sangat menarik melihat perbandingan data antara kedua kejadian tsunami di Aceh dan Tohoku. Kedua tsunami dipicu oleh gempa yang diakibatkan karena subduksi lempeng dalam skala megathrust yang mirip. Magnitude gempa pemicu hampir bisa dikatakan sama. Jarak epicentrum terhadap lokasi pantai terdampak tsunami tidak berbeda jauh, epicentrum gempa Aceh 20 km lebih jauh dari epicentrum gempa Tohuku. Kedalaman sumber gempa dari epicentrum juga hampir sama, kedalamaman sumber gempa Aceh 6 km lebih dalam dari gempa Tohoku. Demikian juga dengan tinggi maksimum gelombang tsunami yang teramati saat kejadian adalah sama yaitu 10 meter. Pertanyaan menarik yang muncul dari kedua kejadian bencana tersebut adalah terkait dengan perbedaan jumlah korban jiwa yang signifikan dan sistem peringatan dini yang ada. Berikut adalah tabel perbandingan data dari kedua kejadian bencana tersebut.

Table: perbandingan data tsunami yang dipicu Gempa

Aceh, 2004

Lokasi

Tohoku, 2011

9

Magnitute (richter)

9

150

Epicentrum (km)

130

30

Kedalaman (km)

24

Megathrust

Tipe subduksi

Megathrust

10

Tinggi tsunami (m)

10

Tidak ada Peringatan dini

Ada

167.540 Korban jiwa (est.)

15.560

Jumlah estimasi korban jiwa pada tsunami di Tohoku adalah 15.560 jiwa sedang jumlah korban pada tsunami Aceh adalah 167.540 jiwa. Jumlah korban jiwa yang sangat signifikan berbeda atau hampir bisa dikatakan jumlah korban jiwa pada tsunami Aceh 2004 kira-kira 10 kali lebih banyak dari tsunami di Tohoku 2011. Pertanyaan yang timbul adalah “Kenapa jumlah korban pada Tsunami Tohoku jauh lebih sedikit?”. Dari gambaran informasi di atas jelas bahwa Early Warning System (sistem peringatan dini) dan sistem kewaspadaan masyarakat yang membedakan kenapa jumlah korban sangat signifikan berbeda.
Sistem peringatan dini mencakup pemanfaatan instrumen untuk mendeteksi potensi ancaman bencana sedini mungkin dan sehandal mungkin serta membangun kesadaran, kewaspadaan dan pengetahuan masyarakat menyangkut potensi bencana dan penanaman perilaku cara penyelamatan diri secara terus-menerus. Literasi kebencanaan disampaikan kepada segenap lapisan masyarakat sebagai pengetahuan dasar untuk penyelamatan diri jika sewaktu-waktu terjadi bencana baik disekitar tempat tinggal atau diluar tempat-tinggalnya. Sistem peringatan dini juga menyangkut pengumpulan data secara terus-menerus guna mendukung sistem analisis guna menghasilkan informasi peringatan dini yang semakin handal akurat. Kondisi kesiapan dan kewaspadaan yang berbeda terkait dengan Tsunami di Aceh pada tahun 2004. Gelombang pasang tsunami menggulung sampai ke kawasan pantai dan daratan tanpa disertai dengan sistem peringatan dini yang memadai pada lokasi kejadian. Akibatnya adalah jumlah korban jiwa yang sangat besar tidak dapat dihindarkan.

Business Wisdom.
Dari kejadian Tsunami tersebut ada kata kunci yang bisa ditarik sebagai pelajaran penting yaitu ; prepare, prepare dan prepare. Perbedaan jumlah korban dari dua kejadian yang sangat signifikan tersebut karena perbedaan pemahaman, perilaku dan kesiapan dalam menghadapi ancaman potensi bencana yang ada baik oleh otoritas dan masyarakat. Pemahaman dan persepsi yang berbeda terhadap sebuah kejadian atau kondisi menghasilkan tindakan yang berbeda serta mengakibatkan besaran dampak yang berbeda pula. Persepsi yang berbeda akan menyebabkan tindakan dan perilaku yang berbeda pula.
Dalam dunia bisnis, ancaman tsunami bisnis bisa datang secara tiba-tiba dan menggulung bisnis yang ada dalam sekejab bisa meluluhlantakan konstruksi dan infrastruktur bisnis yang ada. Tsunami bisnis bisa terjadi berupa perubahan iklim bisnis karena dipicu oleh resesi global, hancurnya bisnis karena perubahan regulasi dari pemegang otoritas secara tiba-tiba yang merugikan iklim bisnis, perubahan lanskap bisnis bisa terjadi karena perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang secara nyata merubah cara pikir dan peradapan serta tatanan bisnis yang ada.
Kewaspadaan terhadap tsunami bisnis perlu dibangun secara terus menerus agar terbentuk preferensi tindakan dan perilaku yang tanggap terhadap potensi ancaman yang ada dan akan terjadi dimasa depan, serta membangun kemampuan adaptasi terhadap setiap kondisi yang ada dalam setiap lingkungan bisnis. Upaya kewaspadaan perlu didukung oleh dashboard informasi bisnis handal yang bisa menggambarkan kondisi lingkungan bisnis secara real time, akurat dan mudah diakses sebagai landasan pengambilan keputusan untuk menghindari tsunami bisnis yang tiba-tiba datang menghantam.
Dengan demikian kesadaran dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan bisnis dan tanggap diri terhadap informasi kondisi abnormal yang berlangsung tiba-tiba harus dibangun secara terus-menerus agar menjadi preferensi tindakan dan perilaku atau menjadi budaya dalam rangka tindakan mitigasi seandainya gelombang tsunami bisnis datang secara tiba-tiba datang menghantam lingkungan bisnis kita. Hancurnya bisnis akibat gelombang tsunami bisnis ini pada umumnya karena para nahkoda atau pemimpin bisnis tidak mengetahui dan tidak mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan berusaha, tidak memahami potensi ancaman yang ada baik yang ada di sekelilingnya atau yang bersumber jauh di luar lingkungan, tidak mempunyai sistem navigasi dan peringatan dini yang berbasis pada data yang handal akurat, komprehensif dan responsif sebagai dasar dalam memahami dan bertindak menghadapi ancaman gelombang tsunami bisnis yang akan datang. Kemampuan untuk menjalankan bisnis secara harmoni dengan segala potensi ancaman yang ada dan kondisi lingkungan yang ada menjadi kunci sukses organisasi bisnis untuk terus bertahan dan berkembang ke masa depan.

Belajar Dari Masa Lalu
Ketidakmampuan dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan ancaman yang ada telah menggulung beberapa organisasi bisnis yang pada masa lalu merupakan para raksasa bisnis dan sangat berpengaruh. Kodak, Nokia, Yahoo, dan masih banyak lagi adalah contoh sebagian brand-brand yang sangat kuat pada masanya yang gagal dalam memahami dan beradaptasi terhadap ancaman gelombang perubahan dan peradaban. Kodak merupakan perusahaan yang mendominasi dalam teknologi film photografi pada abad 20. Top leader Kodak gagal memahami ancaman digital photografi sebagai ancaman bagi produk film photografi yang menjadikan top market leader di industri photografi saat itu. Kodak tidak mengembangkan digital photografi yang dianggap akan menggerus dominasi produk pasar film photografi. Ironisnya kamera digital pertama kali diciptakan oleh Steve Sasson pada yang merupakan enginernya Kodak pada tahun 1975. Kodak benar-benar kolap pada tahun 2012 karena gagal menghadapi gerusan industri kamera digital.
Nokia yang berbasis di Finlandia adalah perusahan pertama yang mengembangkan jaringan selular di seluruh dunia dengan taglinenya “Conneting people”. Pada akhir dekade 1990 dan awal 2000 Nokia adalah pemimpin global untuk pasar telepon seluler. Top leader Nokia gagal memahani dan beradaptasi dengan tren perubahan bahwa data internet merupakan pilihan teknologi masa depan dalam teknologi komunikasi seiring dengan semakin bagusnya jaringan internet dunia dan semakin murahnya data per byte, bukan lagi suara sebagaimana yang dikembangkan oleh Nokia. Nokia lebih fokus mengembangkan perangkat kerasnya dari pada berinovasi pada perangkat lunaknya. Nokia takut perubahan yang terlalu banyak akan mengakibatkan konsumennya beralih. Nokia gagal mengedukasi penggunanya dalam transformasi inovasinya terutama terkait pengalaman penggunaan perangkat lunak. Nokia terlalu yakin dengan kekuatan brand dan kesuksesan produk telepon gamenya. Tahun 2007 Steve Job meluncurkan iPhone, seluler dengan pengalaman pengguna baru tanpa keyboard atau touchscreen. Cara mendengarkan musik dan melihat video secara touchscreen benar-benar merupakan pengalaman baru bagi pengguna telepon seluler. Tahun 2008 Nokia baru benar-benar memutuskan untuk mengembangkan Android, tetapi kondisi tersebut tidak bisa mengangkat Nokia karena sudah sangat terlambat jauh dari para kompetitornya.
Tahun 2005 Yahoo adalah salah satu pemain raksasa dunia dalam pasar bisnis iklan online. Saat itu Yahoo merupakan mesin pencari online dengan valuasi yang sangat tinggi. Dalam pengembangan bisnisnya, Yahoo memutuskan untuk lebih fokus mewujudkan sebagai raja media dunia. Yahoo mengejar sebanyak mungkin reviewer dari konten-konten beritanya yang secara nyata tidak cukup banyak memberikan profit dalam skala besar. Keputusan tersebut mengabaikan tren yang ada menyangkut tren pengembangan mesin pencarian dengan memberikan pengalaman- pengalaman baru bagi penggunanya. Yahoo juga melewatkan beberapa kesempatan besar seperti pada tahun 2002 hampir saja Yahoo mengakuisisi Google yang saat itu sedang berkembang. Demikian pula pada tahun 2006 Yahoo hampir mendapatkan Facebook, hanya karena penawaran Yahoo terlalu rendah akhirnya Facebook tetap ditangan Mark Zuckerberg. Seandainya saat itu Yahoo sedikit mengambil resiko bisa jadi lanskap industri internet saat ini akan terasa Yahoo. Demikian pula dengan IBM, Polaroid, Blackberry dan banyak lagi brand dan entitas bisnis dalam berbagai skala yang gagal dalam beradaptasi dan bertindak yang berujung pada kebangkrutan dihantam gelombang perubahan teknologi dan peradapan.
Kemudian timbul pertanyaan, cukupkah upaya kita untuk menyelamatkan bisnis kita dari hantaman tsunami bisnis? Bisakah kita mengandalkan pemanfaatan dashboard data handal dan akurat secara realtime perkembangan bisnis sebagai dasar tindakan Early Warning System (EWS) sebagai dasar tindakan mitigasi penyelamatan bisnis dari ancaman tsunami bisnis? Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Ancaman bisnis bisa berasal dari lingkup ruang spasial dan waktu dalam jangkauan yang kita perkirakan atau bisa juga berasal dari ruang spasial atau batasan waktu yang berasal di luar perkiraan kita. Gelombang tsunami bisnis bisa datang tiba-tiba dari area yang jauh tidak kita perhitungkan sebelumnya dan menghantam bisnis kita sehingga kita tergagap-gagap untuk menyelamatkan diri. Gelombang pasang tsunami juga bisa datang dari sumber gelombang yang tidak kita perhitungkan sebelumnya karena sebelumnya kita menganggap hal yang tidak mungkin menimbulkan bencana atau selama ini kita menganggap bukan sebagai sumber ancaman bencana.
Baru saja kita dikejutkan kejadian tsunami pada tanggal 22 Desember 2018 pada jam 09.27 yang menghantam Pantai Carita, Pantai Tanjung Lesung serta beberapa pantai di sekitar Selat Sunda baik yang berada di Pulau Jawa ataupun yang berada di Pulau Sumatra. Gelombang tsunami yang tidak terprediksi sebelumnya mengakibatkan paling sedikit 373 korban jiwa, minimal 1459 orang mengalami luka-luka dan lebih dari 600 rumah, 60 toko, 420 perahu/kapal rusak oleh hantaman gelombang tsunami (sumber : The Guardian, 24 desember 2018). Gelombang tsunami yang diyakini diakibatkan oleh runtuhnya dinding lereng Gunung Anak Krakatau longsor ke dalam lautan atau samudera. Runtuhnya dinding lereng Gunung Anak Krakatau tersebut menyebabkan longsor bawah laut yang memicu gelombang pasang atau tsunami hingga menghantam beberapa kawasan pesisir yang berada di Selat Sunda yang berhadapan dengan Anak Gunung Krakatau.
Peralatan Early Warning System (EWS) tsunami yang terpasang tidak cukup mampu mendeteksi kedatangan gelombang tsunami yang dipicu oleh longsoran bawah laut tersebut dengan baik. EWS yang ada lebih dirancang untuk mendeteksi gelombang tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi yang menyebabkan perubahan volume dasar lautan atau samudera karena pergerakan antar blok patahan akibat gaya tektonik. Ketika potensi sumber tsunami lain tidak diperhitungkan dalam EWS, maka kita harus membayar mahal atas dampak tsunami terjadi.
Semestinya kita bisa belajar dari masa lalu terkait dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Data dari berbagai sumber menginformasikan bahwa letusan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883 mengakibatkan katastropi tutupan debu vulkanik yang menyelimuti atmosfir bumi yang dirasakan hingga seluruh belahan dunia. Letusan Krakatau Tahun 1883 merupakan salah satu letusan paling dasyat dan paling mematikan di antara letusan gunung api yang tercatat dalam sejarah manusia. Minimal 36.417 korban jiwa diakibatkan oleh letusan yang disertai dengan gelombang tsunami. Gelombang tsunami diyakini sebagai akibat dari longsoran beberapa kilometer kubik material piroklastik (material hasil letusan gunung api) yang dipicu gravitasional masuk ke dalam lautan dan mengakibatkan pemindahan massa air laut dalam jumlah besar secara tiba-tiba. Kota Merak di Banten mengalami kerusakan hebat dihantam tsunami tersebut dengan run up 46 meter.
Demikian pula dengan tsunami bisnis, Gelombang ancaman bisnis bisa datang dari sumber yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Belajar dari kejadian masa lalu dapat memberikan petunjuk bagaimana pelaku atau entitas bisnis untuk bisa bertahan dalam menghadapi ancaman dan tekanan bisnis yang ada. Setiap revolusi teknologi dan peradapan selalu menghadirkan gelombang pasang yang merusak atau memberikan tekanan bisnis yang ada. Bisnis yang tidak bisa beradaptasi akan cenderung meredup bahkan mati. Hantaman gelombang Tsunami akan mengenai seluruh biduk atau kapal bisnis yang ada. Korban terjadi karena tidak ada kesiapan dan kewaspadaan dalam menghadapi potensi bencana yang ada. Pelaku bisnis yang belajar dari masa lalu akan menghadapi dan menyongsong gelombang tsunami dengan kewaspadaan dan kesiapan penuh. Bagi kapal yang sedang berlabuh ditengah lautan, ketika gelombang tsunami datang, haluan kapal akan segera diarahkan untuk menyongsong gelombang pasang mengarah ke sumber gelombang, berpacu dengan waktu mengejar tinggi gelombang yang datang sebelum gelombang pecah menghasilkan sifat destruktif menghantam setiap entitas bisnis dan menghempaskan setiap kapal bisnis yang sedang bersandar di dermaga.
Pelajaran penting yang diambil dalam menghadapi hantaman akibat perubahan tatanan bisnis yang datang dengan tiba-tiba adalah dengan kesiapan dan kesadaran setiap saat akan kondisi lingkungan bisnis setempat dengan segala potensi dan ancamannya. Kesadaran dan kewaspadaan yang ditumbuhkan setiap saat agar menjadi budaya bagi organisasi bisnis untuk peka terhadap perubahan sekecil apapun. Kesadaran diwujudkan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi dan perubahan lanskap bisnis yang ada dengan berinvestasi pada sumber daya manusia yang unggul dan handal serta leadership organisasi bisnis yang peka terhadap perubahan teknologi dan peradaban. Dalam era yang dituntut serba cepat dan efisien seperti saat ini kemampuan networking untuk mendapatkan partnership terbaik dan pengembangan ceruk pasar terbaik menjadi salah satu kunci penting bagi kelangsungan dan keberlanjutan organisasi bisnis.
Masa lalu adalah bukti rekaman yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi organisasi bisnis untuk keluar dari hantaman krisis atau tekanan karena perubahan teknologi dan peradaban yang mengubah lanskap bisnis baik lokal ataupun global. Masa lalu mengajarkan bahwa menghadapi gelombang perubahan teknologi dan peradaban yang terjadi hanya bisa dilakukan dengan baik dengan bila kita mengenali kemampuan diri sendiri dan lingkungan bisnis yang ada. Sumber gelombang perubahan harus dikenali dengan baik. Ketika terjadi gelombang perubahan yang mendasar tersebut, haluan organisasi bisnis diselaraskan dengan perubahan yang ada. Strategi preventif organisasi bisnis harus dilakukan dengan cepat selaras datangnya gelombang perubahan dan menghindari atau keluar secepatnya dari area dimana gelombang perubahan telah menjadi gelombang destruktif bagi organisasi bisnis pada umumnya.
Mari kita kenali lingkungan kita dengan segala potensi bisnis dan potensi gelombang tsunaminya sebelum kita dihempaskan. Let’s Prepare to adapt, Networking, and Learning to the past. (irw/07/2/19).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *