Berguru Pada Penjual Pisau

Awal tahun 1999 saya banyak melakukan door to door keluar masuk kantor pemerintah dan swasta. Eeiit… tentu bukan untuk melamar pekerjaan. Boro-boro ada lowongan pekerjaan, bisnis yang ada bisa bertahan saja sudah bagus. Kebanyakan bisnis saat itu mati suri kalau tidak boleh dikatakan kolap. Pengaruh krisis ekonomi pasca reformasi 98 sangat dasyat dan terasa berat disegala bidang bisnis. Untuk memulai bisnis dalam kondisi tersebut, yang saya lakukan adalah menawarkan dan menjual ide dalam bentuk pemikiran atau barang yang siapa tahu dibutuhkan oleh lembaga pemerintah atau swasta untuk menjalankan roda organisasi atau bisnisnya serta bertahan dari kondisi ekonomi yang tidak pasti saat itu. Satu hal yang pasti dalam kondisi chaos tersebut adalah bahwa tidak semua bisnis benar-benar mati atau hilang, kalau tidak boleh dikatakan kolap. Para pebisnis sejati hanya berubah strategi saja beradaptasi dengan keadaan. Tentu saja bisnis yang benar-benar mati juga ada. Bisnis yang semula menekankan pada produksi dan penjualan, dalam kondisi kritis atau chaos akan lebih melakukan pengetatan atau menghentikan produksi sekalipun dan lebih menekankan pada perencanaan (planning). Mereka menyiapkan segala kemungkinan yang ada dan bisa dilakukan agar saat ekonomi membaik bisnis tersebut dapat berjalan lebih cepat dan meninggalkan kompetitornya. Dalam kondisi seperti itu justru waktunya bagi usaha bisnis utk siap-siap mengambil peluang yang ada, disaat yang lain sibuk meratapi keadaan. Teman bisnis saya mengatakan “Do the best or Be the first to be market leader, And to obtain more gains from chaos market“.

Lalu apa hubungannya dengan penjual pisau? Ketika saya keluar masuk kantor atau instansi pemerintah untuk menawarkan gagasan atau ide melalui proposal, saya sering menjumpai pedagang asongan juga keluar masuk kantor untuk menjual dagangannya. Ada yang menjual makanan, minuman, sepatu, pakaian, hingga barang-barang perlengkapan rumah tangga. Tidak ada hal yang aneh dari mereka dalam menjual dagangannya. Suatu ketika saya akan menawarkan gagasan dan ide saya kepada salah satu instansi pemerintah pada tingkat provinsi. Tentunya gagasan saya ini adalah gagasan yang saya anggap cukup baik dan akan sangat bermanfaat bagi intansi tersebut. Gagasan tersebut saya susun berdasarkan pada kebutuhan instansi dan akan menjadi solusi bagi permasalahan yang ada pada intansi tersebut. Gagasan dengan mengedepankan pemanfaatan perkembangan ilmu dan teknologi terkini yang pada saat itu. Ide yang cukup keren, inovatif dan sangat bermanfaat bagi instansi provinsi tersebut. Bagi saya pribadi ide tersebut cukup besar dari seorang fresh graduate yang baru lulus sekitar satu tahun.

Ketika saya akan masuk pada salah satu kantor saya sering dihantui perasaan pertanyaan saya sendiri. Jangan-jangan proposal saya tidak menarik bagi mereka? Jangan-jangan mereka mempinyai ide lebih baik dari proposal saya? jangan-jangan ada orang lain yang sudah memberikan penawaran sejenis dan lebih baik? Jangan-jangan mereka menertawakan proposal saya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat saya kadang ragu untuk mengetuk pintu mereka sekedar menceritakan ide. Kadang kaki rasa berat untuk melangkah. Gambaran penolakan dari mereka sering membayangi pikiran. Pikiran maju mundur maju mundur sering muncul saat mau melangkahkan kaki untuk mengetuk pintu instansi. Bahkan ketika baru didepan petugas penerima tamu saja sering muncul gejolak pikiran dan perasaan yang mengatakan bahwa tidak mudah ide dalam proposal saya untuk diterima.

Pada suatu ketika saya sudah berada di depan pintu instansi yang ingin saya tuju. Pada saat yang bersamaan pikiran saya mengatakan bahwa ide saya tidak mungkin atau sulit diterima oleh instansi tersebut. Sayapun akhirnya memilih untuk tidak jadi mengetuk pintu dan mengambil duduk di kursi pojok ruang tunggu tamu berhadapan dengan petugas penerima tamu. Sambil istirahat, sayapun membiarkan semua gejolak yang ada dalam pikiran hingga sedikit agak tenang. Disaat saya menenangkan pikiran saya melihat bapak-bapak kira-kira usia 50-an tahun masuk ke dalam ruang tunggu membawa tas besar semacam travelbag langsung menemui penerima tamu. Entah apa yang dibicarakan, tidak lama kemudian si bapak tadi membuka tas besarnya dan mengeluarkan isinya. Ternyata si bapak ini adalah penjual pisau. Beberapa pisau digelar di atas meja petugas penerima tamu. Pisau-pisau ini bukanlah pisau komando dari Swiss yang berbahan baja kualitas tinggi dan dibuat dalam presisi tinggi, tetapi pisau-pisau yang dibuat oleh pengrajin tradisional atau pande besi dalam istilah bahasa jawa. Sepertinya terjadi diskusi antara Si Bapak penjual pisau dan penjaga tamu. Si Bapak dengan sabar menjelaskan fungsi beberapa pisau yang digelarnya. Sambil menodongkan ke arah petugas penerima tamu dengan santainya seakan memaksa untuk membelinya. Si Bapak penjual pisau inipun menjelaskan kualitas bahan pisau tersebut dengan yakinnya. Setelah beberapa saat terjadi dialog sepertinya petugas penerima tamu tertarik untuk membeli satu buah pisau. Si Bapak itupun akhirnya mengemasi seluruh pisau-pisau yang digelarnya. Kemudian tanpa ragu Si Bapak tersebut melangkah bergeser kedepan pintu masuk ruang instansi, membuka pintu kemudian langsung masuk ke ruangan dan saya tidak bisa melihat lagi.

Sayapun terhentak, terkaget-kaget, melongo setengah tidak percaya. Belum hilang pikiran kalut saya, saya melihat betapa santainya Si Bapak tadi berhasil menjual sebuah pisau dengan petugas penjaga tamu dan masuk kedalam ruangan dengan santai penuh dengan optimis. Sayapun terbangun dari kekalutan pikiran. Produk atau proposal yang saya tawarkan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar pisau dapur sebagaimana yang dijual Si Bapak tadi. Saya yakin tidak semua orang mampu menyusun ide-ide seperti yang saya buat dan saya yakin betul manfaat dari apa yang saya susun dalam proposal. Kenapa demikian? Ide-ide yang muncul muncul dalam proposal adalah hasil pemikiran yang saya pelajari selama dalam masa perkuliahan. Masa ketika saya diajari oleh guru-guru terbaik, bukan hanya kelas dalam negeri ini tetapi guru-guru dengan reputasi dan prestasi internasional. Sayapun berpikir “Tidak ada alasan lagi untuk ragu menawarkan ide terbaik yang saya buat, masak kalah dengan si bapak penjual pisau dapur”. Semestinya menjadi pemenang adalah pilihan seperti si bapak penjual pisau tersebut, percaya dengan apa yang ditawarkannya dan optimis menembus dan menghilangkan segala alasan pembenaran kegagalan.

Sebuah pelajaran yang berharga dari Si Bapak penjual pisau. Kepercayaan terhadap apa yang kita yakini merupakan landasan kunci sukses dalam bisnis. Hehehehe…. sudah menodongkan pisau, menyuruh membeli pula. Untuk anda, selamat menodongkan pisau produk anda, kepada para konsumen dan pelanggan anda dengan percaya diri. (irw/nov18)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *