KHAYALAN SUPERIOR MENOLAK REALITAS

Tall shadow (sumber gambar : todayifoundout.com)

Baru saja bangsa Indonesia melaksanakan pilpres dan pileg serentak. Pesta demokrasi yang melibatkan lebih dari 190 juta pemilik hak suara guna menentukan pemimpin dan wakil rakyat untuk lima tahun ke depan. Apresiasi layak diberikan kepada KPU sebagai penyelenggara serta seluruh panitia pemungutan suara yang langsung melayani dan berhadapan dengan masyarakat. Pemungutan suara kali ini, sepanjang yang saya ikuti merupakan pemungutan suara yang paling komplek ditandai dengan pelaksanaan rekapitulasi suara tiap TPS hingga melewati tengah malam bahkan ada yang sampai subuh baru selesai serta gugurnya beberapa petugas pemungutan suara selama menjalankan tugas. Duka mendalam bagi seluruh Bangsa Indonesia atas gugurnya saudara kita yang sedang bertugas mengemban amanat negara. Sungguh perjuangan yang harus selayaknya untuk diapresiasi disamping beberapa kritik yang harus dibenahi di masa depan.

Oke .. saya tidak akan mengulas pemungutan suara langsung yang dikatakan terbesar di seluruh dunia tersebut. Saya lebih tertarik bagaimana para kontestan tersebut menyikapi hasil yang ada. Saya juga tidak akan menyorot siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kontestasi ini karena saat ini memang hasil resmi real count KPU belum selesai, walau beberapa lembaga quick count sudah mempublikasikan hasil kerja profesionalnya.

Ketika seseorang ingin maju dalam sebuah kontestasi apapun levelnya tentu sudah melakukan penjajagan akan kemampuan diri dan potensi untuk memenangkannya. Seringkali seseorang dengan persepsinya sendiri merasa bahwa dirinya yakin mampu untuk memenangkan kontestasi tanpa melihat fakta sesungguhnya atas kemampuan yang ada. Khayalan kehebatan inilah yang kadang berlebihan sehingga melupakan atau mengabaikan semua realitas yang ada. Keyakinan diri ini umumnya muncul sebagai persepsi pribadi atas kehebatan atau kelebihan pribadi di masa lalu. Hipotesa keyakinan para kandidat ini akan teruji saat pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU.

Seringkali kenyataan atau realitas yang ada saat ini tidak sama dengan apa yang dipersepsikan dengan dirinya. Seringkali justru penolakan realitas yang ada terhadap diri semakin kuat ketika fakta dan data makin bertolak belakang dengan persepsi diri. Pribadi model seperti ini ketika dalam sebuah kontestasi mendapatkan realita hasil yang tidak sesuai dengan persepsi pribadinya, maka akan cenderung menolak hasil realitas yang ada karena apa yang dipersepsikan oleh dirinya yang serba hebat, tangguh, kuat, berpengaruh, berilmu dan paling bermoral tersebut tidak selayaknya untuk mendapatkan hasil kegagalan yang jauh dari apa yang dibayangkan atau dipersepsikan.

Dari berbagai referensi, kondisi seperti ini sering ditemui pada individu; seseorang yang meyakini bahwa orang lain harus mengakui kelebihan dan kehebatannya, peserta kompetisi perlombaan atau kontestasi yang mempersepsikan dirinya paling unggul, seseorang yang merasa paling berpengaruh, kepribadian mantan pemimpin sebagai tokoh yang merasa paling kuat dan hebat, selebriti yang merasa paling termasyur, seseorang yang merasa dirinya tokoh masyarakat yang terhormat dan populer, seorang yang merasa dirinya sebagai pribadi yang unggul secara keilmuan dan sangat pengalaman, kepercayaan diri dari seorang sebagai pemimpin religi yang merasa paling bermoral, kepercayaan dari seseorang yang merasa mempunyai kemampuan unggul dalam membaca keadaan, kepercayaan dari seseorang yang mempunyai skill supranatural untuk membaca pikiran orang lain, dan lainnya meskipun secara kenyataan persepsi pribadi tersebut berlawanan dengan realitas yang ada.

Dalam dunia bisnis seringkali tercermin pada; orang yang memercayai dirinya sebagai orang yang paling berpengalaman dalam bisnis dimasa lalu, orang yang memercayai dirinya sebagai pelaku bisnis paling kuat dan paling besar di masa lalu, orang yang memercayai dirinya dan bisnisnya sebagai penguasa dominan market di masa lalu, dan lainnya yang sebenarnya persepsi pribadi tersebut berbeda dengan realitas yang ada pada saat ini.

Orang yang mengalami kondisi seperti itu sebenarnya tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, mereka memercayai  terhadap kebesaran dan kelebihan dirinya yang sebenarnya tidak sesuai dengan realitas yang ada dan menolak terhadap kenyataan sesungguhnya yang berlawanan.

Keyakinan yang salah oleh individu yang merasa sangat hebat, sangat unggul, sangat agung, mempunyai kekuatan yang sangat besar, sangat berpengaruh dan berkuasa walaupun dalam kenyataan yang ada sangat berlawanan dengan apa yang dipersepsikan, gejala ini disebut sebagai Delusions of Grandeur (DG) atau Khayalan Superior/Keagungan).

Pada masa setelah pemilihan umum ini dilakukan atau saat penetapan hasil pemilu nanti oleh KPU, saya yakin dari sekian banyak kandidat akan ada yang mengalami gejala DG yang ditandai dengan menolak realita terhadap kondisi yang nyata terjadi. Tidak percaya bahwa kejadian yang tidak diinginkan benar-benar terjadi nyata yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan sebagai pribadi yang unggul, kuat, pemenang dan berpengaruh. Pertanyaan selanjutnya adalah “Sampai kapan DG ini akan berlangsung?”. Nah.. bisa jadi sangat tergantung dari tingkat kekronisan DG yang dialami dan sejauh mana faktor pendamping bagi penderita DG menuntun menunjukkan realita sebenarnya yang ada. Demikian pula dalam organisasi atau lembaga bisnis, kejayaan dan kehebatan  masa lalu suatu merek atau layanan bisnis sering mengabaikan kondisi saat ini dimana jaman dan peradaban sudah berubah dan bergerak sangat cepat. Para pemimpin bisnis yang tidak menyadari masih dihinggapi perasaan bahwa lembaga bisnis yang dikelola masih sangat kuat. Ketika terjadi pertarungan bisnis yang sebenarnya lembaga bisnis yang tidak beradaptasi dengan perubahan dan dinamika jaman akan mati. Pada saat itulah para pemimpin bisnis yang mengalami DG baru mulai menyadari bahwa realita yang ada telah jauh berkembang dari persepsi pribadi dan organisasi.

Efek Negatif DG

Dari berbagai referensi, DG umumnya merupakan efek dari gangguan kesehatan mental dan perilaku seseorang. Pada umumnya orang-orang yang mengalami DG tidak akan mencari pengobatan medis atau terapi karena mereka tidak menganggap DG sebagai sebuah masalah dan tidak ada alasan untuk mencari penanganan gangguan tersebut.

DG yang tidak tertangani dengan baik dapat memberikan efek antara lain (dari berbagai sumber);

  • Mudah konflik dalam hubungan dengan pasangan,
  • Mudah marah kepada orang lain,
  • Mudah tersinggung,
  • Tertutup,
  • Gangguan penggunaan zat dan obat-obatan,
  • Permasalahan hukum jika tindakan yang dilakukan berdasarkan khayalan mengganggu kepentingan, dll.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam dunia bisnis kita akan menemukan keanehan dari para penderita DG ini dengan mudah. Umumnya tindak laku dan keputusan yang diambil lara penderita DG ini cenderung emosional dan mengabaikan logika kewajaran. Hal ini karena mereka lebih menggunakan persepsi pribadi sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindakan. Hehehe.. anda pernah berinteraksi dengan orang seperti ini, saya jamin anda akan ketawa sendiri kalau anda sudah memahami atau anda akan ikut terbawa dalam khayalan mereka.. minimal anda akan dibuat pusing bercampur ketawa. Anda seringkali harus punya kesabaran ekstra saat berinteraksi dengan mereka sambil memberikan dan menunjukkan fakta yang ada agar rasionya bisa bekerja kembali melihat fakta yang ada sebagai sebuah realitas.

Penanganan DG

Penanganan DG sangat tergantung dari diagnosa penderita. DG bisa disebabkan oleh faktor fisik atau mental. Jika ada faktor fisik sebagai pemicu  umumnya dibutuhkan penanganan secara medis. Sedangkan penanganan oleh psikiater dilakukan jika aspek gangguan jiwa sebagai pemicunya. Penanganan yang sering dilakukan adalah dalam bentuk psikoterapi. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh bagaimana tingkat kepercayaan hubungan dibangun  antara terapis dengan pasiennya sebagaimana target yang akan dicapai dan diterima oleh pasien.

Pemanfaatan DG

Ternyata DG tidak selalu negatif dalam kondisi tertentu. Kabar baiknya sebagian orang mempercayai bahwa pemanfaat

Baru saja bangsa Indonesia melaksanakan pilpres dan pileg serentak. Pesta demokrasi yang melibatkan lebih dari 190 juta pemilik hak suara guna menentukan pemimpin dan wakil rakyat untuk lima tahun ke depan. Apresiasi layak diberikan kepada KPU sebagai penyelenggara serta seluruh panitia pemungutan suara yang langsung melayani dan berhadapan dengan masyarakat. Pemungutan suara kali ini, sepanjang yang saya ikuti merupakan pemungutan suara yang paling komplek ditandai dengan pelaksanaan rekapitulasi suara tiap TPS hingga melewati tengah malam bahkan ada yang sampai subuh baru selesai serta gugurnya beberapa petugas pemungutan suara selama menjalankan tugas. Duka mendalam bagi seluruh Bangsa Indonesia atas gugurnya saudara kita yang sedang bertugas mengemban amanat negara. Sungguh perjuangan yang harus selayaknya untuk diapresiasi disamping beberapa kritik yang harus dibenahi di masa depan.

Oke .. saya tidak akan mengulas pemungutan suara langsung yang dikatakan terbesar di seluruh dunia tersebut. Saya lebih tertarik bagaimana para kontestan tersebut menyikapi hasil yang ada. Saya juga tidak akan menyorot siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kontestasi ini karena saat ini memang hasil resmi real count KPU belum selesai, walau beberapa lembaga quick count sudah mempublikasikan hasil kerja profesionalnya.

Ketika seseorang ingin maju dalam sebuah kontestasi apapun levelnya tentu sudah melakukan penjajagan akan kemampuan diri dan potensi untuk memenangkannya. Seringkali seseorang dengan persepsinya sendiri merasa bahwa dirinya yakin mampu untuk memenangkan kontestasi tanpa melihat fakta sesungguhnya atas kemamluan yang ada. Khayalan kehebatan inilah yang kadang berlebihan sehingga melupakan atau mengabaikan semua realitas yang ada. Keyakinan diri ini umumnya muncul sebagai persepsi pribadi atas kehebatan atau kelebihan pribadi di masa lalu. Hipotesa keyakinan para kandidat ini akan teruji saat pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU.

Seringkali kenyataan atau realitas yang ada saat ini tidak sama dengan apa yang dipersepsikan dengan dirinya. Seringkali justru penolakan realitas yang ada terhadap diri semakin kuat ketika fakta dan data makin bertolak belakang dengan persepsi diri. Pribadi model seperti ini ketika dalam sebuah kontestasi mendapatkan realita hasil yang tidak sesuai dengan persepsi pribadinya, maka akan cenderung menolak hasil realitas yang ada karena apa yang dipersepsikan oleh dirinya yang serba hebat, tangguh, kuat, berpengaruh, berilmu dan paling bermoral tersebut tidak selayaknya untuk mendapatkan hasil kegagalan yang jauh dari apa yang dibayangkan atau dipersepsikan.

Dari berbagai referensi, kondisi seperti ini sering ditemui pada individu; seseorang yang meyakini bahwa orang lain harus mengakui kelebihan dan kehebatannya, peserta kompetisi perlombaan atau kontestasi yang mempersepsikan dirinya paling unggul, seseorang yang merasa paling berpengaruh, kepribadian mantan pemimpin sebagai tokoh yang merasa paling kuat dan hebat, selebriti yang merasa paling termasyur, seseorang yang merasa dirinya tokoh masyarakat yang terhormat dan populer, seorang yang merasa dirinya sebagai pribadi yang unggul secara keilmuan dan sangat pengalaman, kepercayaan diri dari seorang sebagai pemimpin religi yang merasa paling bermoral, kepercayaan dari seseorang yang merasa mempunyai kemampuan unggul dalam membaca keadaan, kepercayaan dari seseorang yang mempunyai skill supranatural untuk membaca pikiran orang lain, dan lainnya meskipun secara kenyataan persepsi pribadi tersebut berlawanan dengan realitas yang ada.

Dalam dunia bisnis seringkali tercermin pada; orang yang memercayai dirinya sebagai orang yang paling berpengalaman dalam bisnis dimasa lalu, orang yang memercayai dirinya sebagai pelaku bisnis paling kuat dan paling besar di masa lalu, orang yang memercayai dirinya dan bisnisnya sebagai penguasa dominan market di masa lalu, dan lainnya yang sebenarnya persepsi pribadi tersebut berbeda dengan realitas yang ada pada saat ini.

Orang yang mengalami kondisi seperti itu sebenarnya tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, mereka memercayai  terhadap kebesaran dan kelebihan dirinya yang sebenarnya tidak sesuai dengan realitas yang ada dan menolak terhadap kenyataan sesungguhnya yang berlawanan.

Keyakinan yang salah oleh individu yang merasa sangat hebat, sangat unggul, sangat agung, mempunyai kekuatan yang sangat besar, sangat berpengaruh dan berkuasa walaupun dalam kenyataan yang ada sangat berlawanan dengan apa yang dipersepsikan, gejala ini disebut sebagai Delusions of Grandeur (DG) atau Khayalan Superior/Keagungan).

Pada masa setelah pemilihan umum ini dilakukan atau saat penetapan hasil pemilu nanti oleh KPU, saya yakin dari sekian banyak kandidat akan ada yang mengalami gejala DG yang ditandai dengan menolak realita terhadap kondisi yang nyata terjadi. Tidak percaya bahwa kejadian yang tidak diinginkan benar-benar terjadi nyata yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan sebagai pribadi yang unggul, kuat, pemenang dan berpengaruh. Pertanyaan selanjutnya adalah “Sampai kapan DG ini akan berlangsung?”. Nah.. bisa jadi sangat tergantung dari tingkat kekronisan DG yang dialami dan sejauh mana faktor pendamping bagi penderita DG menuntun menunjukkan realita sebenarnya yang ada. Demikian pula dalam organisasi atau lembaga bisnis, kejayaan dan kehebatan  masa lalu suatu merek atau layanan bisnis sering mengabaikan kondisi saat ini dimana jaman dan peradaban sudah berubah dan bergerak sangat cepat. Para pemimpin bisnis yang tidak menyadari masih dihinggapi perasaan bahwa lembaga bisnis yang dikelolannya masih sangat kuat. Ketika terjadi pertarungan bisnis yang sebenarnya lembaga bisnis yang tidak beradaptasi dengan perubahan dan dinamika jaman akan mati. Pada saat itulah para pemimpin bisnis yang mengalami DG baru mulai menyadari bahwa realita yang ada telah jauh berkembang dari persepsi pribadi dan organisasi. Dampak dari DG pada organisasi atau lembaga bisnis adalah fenomena ter-disrupt-nya beberapa entitas bisnis karena tidak bisa beradaptasi terhadap apa yang telah terjadi terhadap perubahan pemanfaatan teknologi dan peradaban yang sangat cepat.

Efek Negatif DG

Dari berbagai referensi, DG umumnya merupakan efek dari gangguan kesehatan mental dan perilaku seseorang. Pada umumnya orang-orang yang mengalami DG tidak akan mencari pengobatan medis atau terapi karena mereka tidak menganggap DG sebagai sebuah masalah dan tidak ada alasan untuk mencari penanganan gangguan tersebut.

DG yang tidak tertangani dengan baik dapat memberikan efek antara lain (dari berbagai sumber);

  • Mudah konflik dalam hubungan dengan pasangan,
  • Mudah marah kepada orang lain,
  • Mudah tersinggung,
  • Tertutup,
  • Gangguan penggunaan zat dan obat-obatan,
  • Permasalahan hukum jika tindakan yang dilakukan berdasarkan khayalan mengganggu kepentingan, dll.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam dunia bisnis kita akan menemukan keanehan dari para penderita DG ini dengan mudah. Umumnya tindak laku dan keputusan yang diambil lara penderita DG ini cenderung emosional dan mengabaikan logika kewajaran. Hal ini karena mereka lebih menggunakan persepsi pribadi sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindakan. Hehehe.. anda pernah berinteraksi dengan orang seperti ini, saya jamin anda akan ketawa sendiri kalau anda sudah memahami atau anda akan ikut terbawa dalam khayalan mereka.. minimal anda akan dibuat pusing bercampur ketawa. Anda seringkali harus punya kesabaran ekstra saat berinteraksi dengan mereka sambil memberikan dan menunjukkan fakta yang ada agar rasionya bisa bekerja kembali melihat fakta yang ada sebagai sebuah realitas.

Penanganan DG

Penanganan DG sangat tergantung dari diagnosa penderita. DG bisa disebabkan oleh faktor fisik atau mental. Jika ada faktor fisik sebagai pemicu  umumnya dibutuhkan penanganan secara medis. Sedangkan penanganan oleh psikiater dilakukan jika aspek gangguan jiwa sebagai pemicunya. Penanganan yang sering dilakukan adalah dalam bentuk psikoterapi. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh bagaimana tingkat kepercayaan hubungan dibangun  antara terapis dengan pasiennya sebagaimana target yang akan dicapai dan diterima oleh pasien.

Pemanfaatan DG

Ternyata DG tidak selalu negatif, dalam kondisi tertentu DG dapat digunakan secara positif. Kabar baiknya sebagian orang mempercayai bahwa pemanfaatan DG secara tepat dan terukur dapat digunakan untuk membangun kembali hilangnya kepercayaan diri dan perasaan depresi bagi seseorang. mengenang kembali kesuksesan, kehebatan atau kejayaan masa lalu dapat membangkitkan kebanggaan pribadi guna membangun kepercayaan yang hilang.

Ternyata DG-pun bisa dimanfaatkan untuk pengembangan diri, tapi harus diingat kata kuncinya adalah tepat dan terukur antara rasa dan rasio. Jadi sebelum menggunakan DG sebagai sesuatu yang positif, anda harus memastikan rasa dan rasio anda dapat berfungsi dengan baik. jika tidak maka bisa jadi anda adalah pengidap kronis DG berikutnya. Selamat bagi anda untuk menggunakan rasa dan rasio dengan benar.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *