BELAJAR BERDEMOKRASI DARI MUNAS INKINDO 2018

Oleh : Etty Agustin

Gegap gempita perhelatan Musyawarah Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) sudah selesai dilaksanakan. Sebuah ajang pertemuan terbesar di asosiasi bidang Jasa Konsultansi yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Salah satu amanat kegiatan Musyawarah Nasional tersebut adalah memilih Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) INKINDO untuk periode 4 tahun ke depan yang akan memimpin dan menahkodai Asosiasi Badan Usaha Jasa Konsultansi terbesar di Indonesia.
Pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) INKINDO tahun 2018 – 2022, telah dilaksanakan sebagai salah satu rangkaian kegiatan Musyawarah Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) yang diselenggarakan pada tanggal 21-22 Nopember 2018, bertempat di Hotel PO, Semarang – Jawa Tengah.
Salah satu pelajaran penting dalam perhelatan Musyawarah Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), adalah bahwa kita belajar berdemokrasi secara sederhana. Belajar menerima perbedaan pendapat, belajar menerima kebulatan suara dalam pengambilan suara melalui hasil musyawarah untuk mufakat oleh para petinggi Asosiasi, dan belajar menerima hasil akhir, baik yang sesuai ataupun yang berlawanan dengan keinginan kita.
Berbagai suara memperjuangkan pilihannya masing-masing. Bahkan ketika logika dan emosi beradu saling berseberangan yang terjadi adalah kekakuan sikap. Beragam suara keras, ketegangan dan perbedaan pendapat dari pribadi atau kelompok memuncak menjadi ragam dinamika suasana yang terjadi pada agenda Musyawarah Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) 2018 beberapa waktu yang lalu.
Sistem e-vote menjadi fenomena baru di dalam penyelenggaraan pemilihan Ketua Umum DPN INKINDO, dan masih menjadi diskusi panjang terkait lebih dan kurangnya dari implementasi sistem tersebut. E-vote dengan sistem one man one vote yang digagas untuk tujuan efisiensi, secara nyata melahirkan proses kapitalisasi pemilihan yang menimbulkan biaya yang tidak sedikit, yang harus ditanggung terutama oleh setiap Bakal Calon. Meski semangat transparansi dan hak-hak pilih anggota Inkindo secara Nasional bisa tersampaikan, tetapi sistem ini membutuhkan effort yang sangat tinggi, tidak hanya tenaga, namun juga finansial. Hal ini mungkin saja akan membawa preseden yang kurang baik bagi agenda pemilihan Ketua Umum DPN INKINDO pada periode-periode selanjutnya. Salah satu opini yang mungkin saja terbentuk adalah “Butuh banyak biaya untuk menjadi Bacaketum”, mengingat biaya yang dibutuhkan untuk “memperkenalkan diri” kepada Pemilih se-Indonesia tidaklah murah dan tidaklah mudah. Tapi inilah zaman millennial yang “memaksa” kita untuk turut serta melek teknologi. Yang tidak mampu mengikuti, akan tertinggal jauh di belakang. Dan apapun itu, INKINDO patut bangga sudah menjalankan sistem e-vote ini sebagai bentuk implementasi demokrasi, memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi anggota untuk menggunakan hak suaranya, meski di sana-sini masih ada kekurangan dan ketidak sempurnaan.

Permasalahan teknikal seputar e-vote sempat mewarnai dalam dinamika munas. Kekosongan aturan dan kehandalan aplikasi menjadi catatan penting kedepan agar proses e-vote bisa lebih sempurna

Perdebatan hingga beberapa kali skors waktu persidangan yang berakhir pada saat Adzan Subuh tiba, akhirnya menemukan keputusan akhir yang disetujui oleh peserta MUNAS, yakni “TAHAPAN E-VOTE DILANJUTKAN”. Dan diakhiri dengan pembukaan hasil akhir e-vote, dengan hasil suara sebagai berikut :
Ir. H. Peter Frans : 2053 suara
Sonny BM Tamdjid, SE,MM : 1079 suara
Ir. H. Syamsul Arivin, MP : 972 suara
Ir. Nugroho Pudji Rahardjo : 205 suara
Ir. Irviandi Basuki, MT : 120 suara
Apa yang ditunggu telah tiba. Tugas-tugas baru, tanggung jawab baru sudah diserah terimakan kepada Ketua Umum dan Kepengurusan DPN yang baru. Perdebatan, perbedaan pendapat semuanya telah berakhir sudah. Di sini kita belajar tentang babak baru dengan nuansa baru. Perbedaan pendapat adalah “warna” yang harus kita jaga agar tidak membawa kita ke dalam perpecahan. Apapun yang terjadi, persatuan tetaplah yang utama. Keragaman adalah keindahan, bukan sesuatu yang harus kita hindari. Ketika satu warna hanya membawa sebuah kemonotonan, maka ragam warna akan menciptakan keindahan yang tiada tara.
Sebagaimana disampaikan dalam sambutan oleh Prof. W.I.M Poli, bahwa :
“ENGKAU DAN AKU, ADALAH KITA…”
Bahwa benar, kedewasaan kita dalam bersikap, kedewasaan dalam berpolitik praktis, serta kedewasaan dalam menerima setiap perbedaan adalah yang paling utama dalam menjalankan setiap bagian perjalanan kita.
Belajar berdemokrasi, belajar menghargai pendapat orang lain, belajar menekan ego demi kepentingan yang lebih besar, akan mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang lebih bijak di masa kini dan yang akan datang.

Salam Persatuan untuk “INKINDO JAYA, JAYA SELAMANYA”

*) Penulis Adalah Wakil Ketua Bidang Regulasi DPP INKINDO JATIM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *